Sejarah Kota Depok
Depok Zaman Prasejarah
Penemuan benda bersejarah di wilayah Depok dan sekitarnya menunjukkan
bahwa Depok telah berpenghuni sejak zaman prasejarah. Penemuan
tersebut itu berupa Menhir “Gagang Golok”, Punden berundak “Sumur
Bandung”, Kapak Persegi dan Pahat Batu, yang merupakan peninggalan zaman
megalit. Juga penemuan Paji Batu dan sejenis Beliung Batu yang
merupakan peninggalan zaman Neolit.
Depok Zaman Padjajaran
Pada abad ke-14 Kerajaan Padjajaran diperintah seorang raja yang
diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan, yang lebih dikenal
dengan gelar Prabu Siliwangi. Di sepanjang Sungai Ciliwung terdapat
beberapa kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan ini, diantaranya
Kerajaan Muara Beres. Sampai Karadenan terbentang benteng yang sangat
kuat sehingga mampu bertahan terhadap serangan pasukan Jayakarta yang
dibantu Demak, Cirebon dan Banten.
Depok berjarak sekitar 13 km sebelah utara Muara Beres. Jadi wajar
apabila Depok dijadikan front terdepan tentara Jayakarta saat berperang
melawan Padjajaran. Hal itu dibuktikan dengan:
- Masih terdapatnya nama-nama kampung atau desa yang menggunakan bahasa Sunda antara lain Parung Serang, Parung Belimbing, Parung Malela, Parung Bingung, Cisalak, Karang Anyar dan lain-lain.
- Dr. NJ. Krom pernah menemukan cincin emas kuno peninggalan zaman Padjajaran di Nagela, yang tersimpan di Museum Jakarta.
- Tahun 1709 Abraham Van Riebeck menemukan benteng kuno peninggalan kerajaan Padjajaran di Karadenan.
- Di rumah penduduk Kawung Pundak sampai sekarang masih ditemukan senjata kuno peninggalan zaman Padjajaran. Senjata ini mereka terima turun-temurun.
Depok Zaman Islam
Pengaruh Islam masuk ke Depok diperkirakan pada 1527, dan masuknya
agama Islam di Depok bersamaan dengan perlawanan Banten dan Cirebon
setelah Jayakarta direbut Verenigde Oost-lndische Compagnie (VOC)
yang pada waktu itu berkedudukan di Batavia. Hubungan Banten dan
Cirebon setelah Jayakarta direbut VOC harus melalui jalan darat. Jalan
pintas terdekat yaitu melalui Depok. Karena itu tidaklah mengherankan
kalau di Sawangan dan banyak peninggalan-peninggalan tentara Banten
berupa :
- Kramat Beji yang terletak antara Perumnas Depok I dan Depok Utara. Di sekitar tempat itu terdapat tujuh sumur dan sebuah bangunan kecil yang terdapat banyak sekali senjata kuno seperti keris, tombak dan golok peninggalan tentara Banter saat melawan VOC. Dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah itu bukanlah petani melainkan tentara pada jamannya. Informasi dari Kuncen turun temurun, bahwa tempat itu sering diadakan pertemuan antara tentara kerajaan Banten dan Cirebon. Di tempat itu biasanya diadakan latihar bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut padepokan. Kemungkinan nama Depok juga bersumber dari Padepokan Beji.
- Di Pandak (Karadenan) terdapat masjid kuno yang merupakan masjid pertama di Bogor. Lokasi masjid ini dengan Bojong Gede hanya terhalang Sungai Ciliwung. Masjid ini dibangun Raden Safe’i cucu Pangeran Sangiang bergelar Prabu Surawisesa, yang pernah menjadi raja mandala di Muara Beres. Di rumah-rumah penduduk sekitar masjid ini masih terdapat senjata-senjata kuno dan beberapa buah kujang peninggalan zaman Padjajaran. Jadi masjid dibangun tentara padjajaran yang masuk Islam kurang lebih tahun 1550.
- Di Bojong Gede terdapat makam Ratu Anti atau Ratu Maemunah, seorang prajurit Banten yang berjuang melawan padjajaran di kedungjiwa. Setelah perang selesai suaminya (raden pakpak) menyebarkan agama Islam di Priangan, sedangkan ratu anti sendiri menetap di bojonggede sambil menyebarkan agama Islam sampai meninggal.
Depok Zaman Kolonial
“…Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet
sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh
ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe
mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada
sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari
hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh
bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan
kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,…”
Penggalan kalimat dengan ejaan van Ophuijsen itu adalah hasil
terjemahan Bahasa Belanda kuno dari surat wasiat tertanggal 14 Maret
1714 yang ditulis tangan Cornelis Chastelein, seorang Belanda, tuan
tanah eks pegawai (pejabat) Verenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Tiga bulan kemudian Chastelein meninggal dunia, persisnya 28 Juni
1714. Cornelis Chastelein itulah yang disebut cikal bakal berdirinya
Kota Depok sekarang. Di bawah wewenang Kerajaan Belanda ketika itu
(1696), ia diizinkan membeli tanah yang luasnya mencakup Depok sekarang,
ditambah sedikit wilayah Jakarta Selatan plus Ratujaya, Bojong Gede,
Kabupaten Bogor sekarang. Meneer Belanda itu menguasai tanah kira-kira luasnya 1.244 hektare,
setara dengan wilayah enam kecamatan zaman sekarang. Yang menarik dari
surat wasiatnya, ia melukiskan Depok waktu itu yang dihiasi sungai,
hutan, bambu rimbun, dan sengaja ditanam, tidak boleh diganggu. Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat wasiat itu boleh jadi
berhubungan dengan wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok
sekarang, persisnya di selatan Cinere. Jika ada penggilingan tebu,
niscaya ada tanaman tebu. Pastilah tanaman tebu itu terhampar luas
dengan pengairan cukup. Bisa dibayangkan betapa elok Depok waktu itu.
Depok dan Bogor menjadi wilayah kekuasaan VOC sejak 17 April 1684,
yaitu sejak ditandatanganinya perjanjian antara sultan haji dari Banten
dengan VOC. Pasal tiga dari perjanjian tersebut adalah Cisadane sampai
ke hulu menjadi batas wilayah kesultanan Banten dengan wilayah kekuasaan
VOC.
Saat pemerintahan Daendels, banyak tanah di Pulau Jawa dijual kepada
swasta, sehingga muncullah tuan tanah-tuan tanah baru. Di daerah Depok
terdapat tuan tanah Pondok Cina, Tuan Tanah Mampang, Tuan Tanah Cinere,
Tuan Tanah Citayam dan Tuan Tanah Bojong Gede. Pada masa kejayaan VOC sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan
abad ke-18 hampir semua orang Belanda di Batavia dan sekitarnya yang
kaya raya memiliki sejumlah besar pekerja. Tumbuh kembangnya jumlah
pekerja antara lain disebabkan kemenangankemenangan yang diraih VOC
atau Belanda dalam menguasai suatu daerah, yang kemudian diangkut ke
Pulau Jawa. Pada era tersebut, hidup seorang tuan tanah dermawan yang juga
menaruh perhatian besar terhadap perkembangan agama Kristen di Batavia
dan sekitarnya. Beliau adalah Cornelis Chastelein yang menjadi anggota Read Ordinair
atau pejabat pengadilan VOC. Ayahnya Antonie Chastelein, adalah seorang
Perancis yang menyeberang ke Belanda dan bekerja di VOC. Ibunya Maria
Cruidenar, putri Wali Kota Dordtrecht. Sinyo Perancis-Belanda ini
menikah dengan noni holland Catharina Van Vaalberg. Pasangan ini
memiliki seorang putra, Anthony Chastelein, dan kawin dengan Anna De
Haan.
Saat menjabat pegawai VOC, kariernya cepat melejit. Namun, saat
terjadi perubahan kebijakan karena pergantian Gubernur Jenderal VOC dari
J. Camphuys ke tangan Willem Van Outhorn, ia hengkang dari VOC. Sebagai
agamawan fanatik, Cornelis tidak senang melihat praktek kecurangan VOC.
Borok-borok moral serta korupsi di segala bidang lapisan pihak Kompeni
Belanda selaku penguasa sangat bertentangan dengan hati nurani
penginjil ini. Maka ia tetap bersikukuh keluar dari VOC, beberapa saat
sebelum Gubernur Jenderal VOC Johannes Camphuys mengalihkan jabatannya
kepada Willem Van Outhorn.
Pada 18 Mei 1696, ia membeli tiga bidang tanah di hutan sebelah
selatan Batavia yang hanya bisa dicapai melalui Sungai Ciliwung dan
jalan setapak. Ketiga bidang tanah itu terletak di 6ilangan Mampang,
Karanganyar, dan Depok. Tahun itu juga, ia mulai menekuni bidang
pertanian di bilangan Seringsing (Serengseng). Untuk menggarap lahan pertaniannya yang luas itu, ia mendatangkan
pekerja dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Ternate, Kei,
Jawa, Batavia, Pulau Rate, dan Filipina. Semuanya berjumlah sekitar 120
orang. Atas permintaan ayahnya dulu, ia pun menyebarkan agama Kristen
kepada para budaknya. Perlahan muncul di sini sebuah padepokan Kristiani
yang disebut De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen, disingkat Depok. Semboyan mereka Deze Einheid Predikt Ons Kristus yang juga disingkat Depok. Menjelang ajalnya, 13 Maret 1714, Cornelis Chastelein menulis wasiat
berisi antara lain, mewariskan tanahnya kepada seluruh pekerjanya yang
telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status pekerja menjadi
orang merdeka. Setiap keluarga bekas pekerjanya memperoleh 16 ringgit.
Hartanya berupa 300 kerbau pembajak sawah, dua perangkat gamelan
berlapis emas, 60 tombak perak, juga dihibahkannya kepada bekas
pekerjanya. Pada 28 juni 1714 Cornelis Chastelein meninggal dunia,
meninggalkan bekas budaknya yang telah melebur dalam 12 marga yaitu
Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph,
Tholens, Isakh, Soediro, dan Zadhoks. Marga itu kini hanya tinggal 11
buah karena marga Zadoks telah punah. Anthony, putra Cornelis Chastelein, meninggal pada 1715, satu tahun
setelah ayahnya meninggal. Istri Anthony kemudian menikah dengan Mr.
Joan Francois De Witte Van Schooten, anggota dari Agtb. Raad van
Justitie des casteels Batavia.
Di Depok saat ini masih terdapat Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Lembaga itu dibentuk 4 Agustus 1952 dihadapan Notaris Soerojo dengan perwakilan diantaranya J.M Jonathans dan F.H Soedira. Sementara itu, keturunan pekerja yang dimerdekakan Cornelis Chastelein itu biasa disebut Belanda Depok. Namun RM Jonathans, salah satu tokoh YLCC menyebut julukan itu tidak kondusif, seolah olah memberi pembenaran bahwa komunitas tadi merupakan representasi masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, yang ketika itu menjajah Indonesia. Sejak saat ini Depok terus bertumbuh dan berkembang menjadi kawasan hunian yang ramai. Pada 1871 pemerintah Hindia Belanda memutuskan menjadikan Depok wilayah otonom sendiri. Sejak itu, Depok yang kala itu telah memiliki daerah teritorial sekitar 1.249 hektare, diperintah seorang residen sebagai Badan Pemerintahan Depok tertinggi.
Di Depok saat ini masih terdapat Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Lembaga itu dibentuk 4 Agustus 1952 dihadapan Notaris Soerojo dengan perwakilan diantaranya J.M Jonathans dan F.H Soedira. Sementara itu, keturunan pekerja yang dimerdekakan Cornelis Chastelein itu biasa disebut Belanda Depok. Namun RM Jonathans, salah satu tokoh YLCC menyebut julukan itu tidak kondusif, seolah olah memberi pembenaran bahwa komunitas tadi merupakan representasi masyarakat Belanda yang ada di Indonesia, yang ketika itu menjajah Indonesia. Sejak saat ini Depok terus bertumbuh dan berkembang menjadi kawasan hunian yang ramai. Pada 1871 pemerintah Hindia Belanda memutuskan menjadikan Depok wilayah otonom sendiri. Sejak itu, Depok yang kala itu telah memiliki daerah teritorial sekitar 1.249 hektare, diperintah seorang residen sebagai Badan Pemerintahan Depok tertinggi.
0 komentar:
Posting Komentar